Sabtu, 05 September 2009

MENJADI YANG TERBAIK TU URUSAN PRIBADI.

'Be the best!' begitu kata para pakar pemberi semangat. Jadilah yang terbaik.
Kita meyakini bahwa dengan menjadi yang terbaik, kita akan berhasil meraih
kesuksesan. Kemudian, kita menengok ke kiri dan ke kanan. Menyaksikan betapa
teman-teman kita telah berprestasi tinggi sehingga semangat untuk menjadi yang
terbaik mendorong kita untuk melampaui pencapaian-pencapaian mereka. Dengan
begitu, kita menjadi manusia yang sangat kompetitif. Permasalahan yang muncul
kemudian adalah; kita sering lupa bahwa untuk melampaui kinerja orang lain,
kita perlu mengindahkan etika. Bahwa dalam berkompetisi ada rambu-rambu yang
perlu kita ikuti. Jika tidak, maka kita akan melakukan 'cara apa saja' demi
meraih gelar manusia terbaik itu. Mengapa manusia seperti kita sering terjebak
pada situasi seperti itu?

Itu karena kita cenderung menganggap konsepsi menjadi yang terbaik itu sebagai
sebuah gagasan untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita
merasa berkewajiban untuk menjadi 'lebih' dari orang lain. Jika teman-teman
kita di kantor pada rajin, maka 'be the best' secara salah kaprah berarti;
'lebih rajin daripada orang lain'. Jika orang lain pintar, maka kita mesti
'lebih' pintar dari orang itu. Jika orang lain hebat, maka kita harus 'lebih'
hebat darinya. Maka, akhirnya kita terjebak pada proses pengejaran orang lain,
atau berlari meninggalkan mereka dibelakang. Tetapi, apakah salah jika kita
mempunyai sifat kompetitif seperti itu? Mungkin tidak salah. Namun, kita sering
menjadi tidak sadar bahwa hidup kita menjadi sekedar berkutat pada perlombaan
tak berkesudahan itu.

Memangnya apa pasal jika demikian? Kelihatannya memang tidak ada persoalan.
Namun, jika kita tilik lebih dekat, semangat kompetitif itu merupakan salah
satu sumber kecemasan manusia modern. Orang bisa tidak tidur nyenyak hanya
gara-gara temannya dikantor mendapatkan rating appraisal lebih baik dari
dirinya. Orang bisa gelisah hanya gara-gara orang lain hampir menyaingi dirinya
dalam suatu tugas tertentu. Pendek kata, para mediocre berpusing ria untuk bisa
melampaui orang-orang hebat. Sedangkan orang-orang hebat berdebar jantung
karena tiba-tiba saja mereka mendapati para pendatang baru menunjukkan potensi
untuk menjadi pesaing handal dimasa depan.

Itulah sebabnya, dijaman ini kita sering menemukan orang yang berusaha
mati-matian menghambat pertumbuhan dan perkembangan orang lain. Ada pula yang
begitu protektif kepada kedudukannya. Atau, mereka yang begitu pelit untuk
sekedar berbagi ilmu kepada koleganya. Karena, mereka tahu bahwa orang-orang
disekitarnya mempelajari sesuatu untuk menjadi ancaman dikemudian hari. Dan
kita tahu bahwa semua itu dibahanbakari oleh sebuah konsepsi yang keliru
tentang 'being the best'. Mengapa saya harus menolong orang lain untuk menjadi
'the best'? Bukankah jika dia menjadi 'the best' maka itu berarti bahwa mungkin
saya sudah tidak the best lagi?

Sesungguhnya menjadi 'the best' itu adalah sebuah perjalanan pribadi. Bukan
perjalanan yang melibatkan orang lain. Dan itu berarti bahwa sama sekali tidak
ada hubungan antara 'menjadi yang terbaik' dengan melampaui orang lain. Lho,
kok begitu? Ya memang begitu. Sebab, menjadi yang terbaik itu seharusnya
diletakkan pada konteks 'menjadi manusia terbaik sesuai dengan kapasitas diri
sesungguhnya'. Dengan begitu, kita tidak akan terlampau pusing apakah orang
lain lebih baik dari kita atau tidak. Sebab, jika kita sudah menjadi yang
terbaik sesuai dengan kapasitas diri kita, maka kekhawatiran itu mesti tidak
ada lagi.

Teman anda mengatakan bahwa dia bisa melakukan ini dan itu, sedangkan anda
tidak. Jika anda menempatkan konsep 'be the best' secara keliru, maka Anda akan
panas mendengarnya. Lalu anda mati-matian berusaha agar bisa melakukan hal yang
sama, atau mungkin juga anda melakukan sesuatu agar saingan anda tidak lagi
bisa melakukan hal itu. Sebaliknya, dengan konsepsi yang benar; anda akan
menerima kenyataan bahwa memang orang itu bisa melakukan ini dan itu. Tetapi,
anda sendiripun sadar bahwa ada banyak hal lain yang anda bisa lakukan tetapi
orang itu tidak. Benarkah? Tentu benar. Karena, kita percaya bahwa tidak ada
manusia yang sempurna. Dan itu berarti, kita mengakui kalau orang lain memiliki
kelebihan dari kita. Jadi, kita tidak akan panas hati ketika ada orang
mengkalim diri lebih baik dari kita. Dan itu juga berarti kita menyadari bahwa
kita memiliki kelebihan dari orang lain. Jadi, meskipun mereka lebih dalam
hal-hal tertentu, kita juga pasti lebih dalam hal lain. Juga berarti bahwa
meskipun anda hebat dalam hal-hal tertentu, anda bersedia menerima kenyataan
bahwa orang lain lebih baik dari anda dalam hal lain.

Dengan konsepsi itu juga, kita bisa membebaskan diri dari sebuah persaingan
penuh kecemasan seperti itu. Persaingan yang sering menjebak kita untuk
melakukan tindakan-tindakan tidak sportif, atau memaksakan diri melakukan
sesuatu yang sesungguhnya diluar kemampuan kita. Sebaliknya, konsepsi itulah
yang bisa membawa kita kepada dua hal, yaitu; (1) ikut senang atas kehebatan
dan keunggulan orang lain, dan (2) bersemangat untuk menemukan 'hal terbaik'
apa yang bisa kita temukan dalam hidup kita. Sehingga, kita berkesempatan untuk
mengakui fitrah Tuhan tentang kenyataan bahwa; setiap manusia itu dilahirkan
dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan kita bisa mengikuti apa
yang Tuhan inginkan, yaitu; saling melengkapi satu sama lain.


Di Post Oleh: Reyzal

Catatan Kaki:
Jika kita semua bisa saling berkontribusi satu sama lain; kita tidak perlu lagi
saling mengklaim diri sebagai yang terbaik, apalagi saling mengalahkan untuk
sekedar menguatkan eksistensi diri.